Menjaga Muru’ah
Friday, 11 December 2015
Add Comment
Muru’ah adalah kata sifat yang diambil dari
kata benda “Mar’u” yang berarti manusia atau orang . Muru’ah pada mulanya
berarti sifat yang dimiliki oleh manusia. Sifat tersebutlah yang membedakan
manusia dari hewan dan makhluk lain pada umumnya. Istilah ini dipakai dalam
agama Islam dalam pengertian mengaplikasikan akhlak yang terpuji dalam segala
aspek kehidupan serta menjauhkan akhlak yang tercela sehingga seseorang
senantiasa hidup sebagai orang terhormat dan penuh kewibawaan .
Saat ini banyak orang yang sudah tidak peduli
lagi dengan rasa malu, kehormatan dan harga dirinya. Banyak Muslim yang sudah
tidak lagi memiliki muru’ah. apa saja
yang dia suka, dia makan. Apa saja yang dia inginkan, dia lakukan. Apa saja
yang dia maui, dia sikat. Tak peduli halal-haram, dosa-pahala, atau surga-neraka.
Yang penting dia senang dan bahagia, tentu berdasarkan kriteria hawa nafsunya.
Zina tak lagi dianggap nista. Perkawinan sejenis
tak lagi dianggap miris. Mengumbar aurat tak lagi dinilai maksiat. Pornografi-pornoaksi
tak lagi dipandang tindakan jijik. Riba tak lagi diakui sebagai dosa. Korupsi sudah
menjadi tradisi. Suap-menyuap telah menjadi adat-istiadat. Memberi penguasa/pejabat
hadiah sudah dianggap lumrah. Melayani rakyat dianggap beban berat. Sebaliknya,
melayani pengusaha dan konglomerat dianggap tindakan terhormat. Bahkan tunduk
kepada pihak penjajah asing yang kafir pun dipandang mulia dan bermartabat. Semua
itu akibat penghambaan mereka kepada dunia dan hawa nafsunya belaka. Inilah yang
menjadikan mereka sudah lama kehilangan sikap muru’ah ; hilang rasa malu, harga diri, dan kehormatan mereka
sebagai Muslim, bahkan sebagai manusia.
Mereka lupa bahwa hidup di dunia ini hanyalah
sementara. Semua yang disukai bakal sirna. Semua yang dicintai akan musnah. Semua
yang dimiliki bakal tak punya arti. Semua yang dilakukan bakal diberi balasan. Demikianlah,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Jibril as. Kepada Rasulullah saw. Saat ia
berkata, “Muhammad, hiduplah sesukamu
karena engkau pasti akan mati; cintailah manusia sesukamu karena pasti kamu akan
berpisah dengan dia; dan lakukanlah apa saja sesukamu karena pasti kamu akan
mendapatkan balasannya.” (HR Abu Dawud dari Jabir ra.)
Orang yang telah hilang sikap muru’ah-nya dipastikan telah ‘hilang’
akalnya. Dalam arti, dalam menjalani kehidupannya ia tidak lagi menggunakan
akalnya yang sehat. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh hawa nafsu dan
syahwatnya. Karena itu, benarlah sabda Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan
oleh Abdullah bin Umar ra. “Kemuliaan
seseorang itu ada dalam ketakwaannya. Kehormatan (muru’ah)-nya ada pada
akalnya. Harga dirinya ada pada akhlaknya.” (HR al-Baihaqi dan Ibn Hibban).
Saat manusia ‘hilang’ akalnya, ia tak ubahnya
seperti binatang ternak, bahkan bisa jauh lebih sesat, seperti firman allah SWT
yang
artinya “Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Qs al-Furqon ayat 43), “atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS
al-Furqan ayat 44). Akibatnya, apa yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh
binatang ternak sangat mungkin dilakukan oleh manusia yang telah ‘hilang’
akalnya. Contohnya: Praktik kehidupan homoseksualitas dan lesbianisme atau
perkawinan sesama jenis, misalnya, mungkin amat langka bahkan mungkin takpernah
terjadi dalam dunia binatang yang normal. Kalaupun ada, itu pasti sebuah anomaly.
Faktanya, gaya hidup yang lebih rendah dari perilaku binatang itu ternyata
terjadi bahkan marak dipraktikkan oleh sebagian manusia yang mengaku normal. Begitulah
yang terjadi saat muru’ah telah
lepas sama sekali dari manusia.
Alhasil, muru’ah
wajid senantiasa dijaga oleh setiap
Muslim. Tanpa memiliki sikap muru’ah,
seorang Muslim sesungguhnya telah kehilangan sebagian harga diri dan
kehormatannya. Sikap muru’ah, menurut
Imam al-Mawardi, tidak lain adalah menjaga kepribadian atau akhlak yang paling
utama sehingga tidak kelihatan pada diri seseorang sesuatu yang buruk atau
hina. Menurut Abdullah al-Anshari al-Harawi, seorang tokoh mazhab Hambali, “orang
dikatakan memiliki sikap muru’ah jika
akalnya dapat mengendalikan syahwatnya, yang dengan itu ia bisa mempraktikkan
akhlak yang terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela.”
Ibnu Qayim al-Jauziah membagi sikap muru’ah menjadi tiga.;
pertama: muru’ah terhadap diri sendiri, yaitu
mempraktikkan akhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela kendati tidak dilihat
oleh orang lain. Misalnya, orang yang tetap menutup auratnya saat ke luar rumah
sekalipun jauh dari keramaian atau tidak ada orang yang melihat dia.
Kedua:
muru’ah terhadap sesama
manusia, yaitu senantiasa berakhlak luhur dan menjauhi akhlak tercela saat
bergaul dengan sesama manusia.
Ketiga:
muru’ah terhadap allah SWT sehingga membuat seseorang
senantiasa berupaya melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Imam al-Mawardi memandang sikap muru’ah merupakan perhiasan pribadi seorang Muslim
sekaligus menjadi bukti keutamaan budi dan menjadi tanda kemuliaannya. Lebih dari
itu, sikap muru’ah adalah benteng
yang bisa mencegah kita dari jalan hidup yang hina dan segala bentuk perilaku yang
tercela.
Semoga dari artikel ini kita semua sebagai umat
manusia dapat intropeksi diri dan dapat lebih menjaga sipat muru’ah kita, amin.
Semoga artikel ini bermanfaat dan terimakasih
atas kunjungannya..
[sumber: media umat dan sumber lain]
0 Response to "Menjaga Muru’ah"
Post a Comment