FENOMENA FATHERLESS VS MOTHERLESS “PERAN PENTING ORANG TUA TERHADAP ANAK”
Sunday, 6 December 2015
Add Comment
Tanggal 12 November lalu diperingati sebagai hari ayah.
Memang tidak seheboh hari Ibu, karna peringatan itu baru diproklamirkan tahun
2006 lalu. Bukan oleh para Ayah tapi oleh kaum Ibu. Perkumpulan Putra Ibu
Pertiwi (PPIP) mendeklarasikannya pada 12 November 2006 di Solo, Jateng,
diikuti kota Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Nampaknya kaum Ibu memang lebih peka untuk menggaungkan
kepedulian pada ayah. Terutama anak-anak, jangan sampai melupakan jasa-jasa
seorang ayah. Sosok yang cenderung mencintai dalam diam. Ya, jasa ayah sebagai
penopang ekonomi keluarga bukan perkara mudah. Tapi, bukan sekadar materi yang
dibutuhkan dari sosok seorang ayah. Charisma, kebijaksanaan, keteladanan,
kepemimpinan, ketegasan dan kepedulian pada keluarga dalam aspek pendidikan,
social dan spiritual juga tak kalah penting.
Nah, saat ini banyak kalangan pemerhati parenting. Menyebutkan, Indonesia itu Negara fatherless. ”Tentu fatherless
atau kekurangan ayah disini bukan ayah dalam wujud biologis atau fisik”. Fatherless itu adalah fakta bahwa ayah
secara biologis memang ada. Tapi eksistensinya seolah-olah tiada, disebabkan
peran ke-ayah-annya yang tidak dominan bagi si anak. Akibatnya anak seolah
hanya dibesarkan oleh Ibu saja. Karakter anak hanya terbentuk dari keteladanan
ibu. Padahal nasihat, pelajaran budi perkerti, atau leadership itu lebih mempan dari seorang ayah.
Anak Tanpa Ayah
Dalam system sekuler saat ini, fenomena Fatherless itu bahkan bukan hanya dalam makna seperti dijelaskan di
atas. Saat ini, fatherless itu benar-benar
dalam makna “banyaknya anak yang tidak memiliki ayah.” Benar, mereka lahir dari
proses pembuahan sperma laki-laki terhadap indung telur perempuan, tapi tidak
legal.
Bayi lahir bukan dari hasil pernikahan sah. Hamil karena
hubungan kelap, perselingkuhan dan pemerkosaan. Juga, lahir dari proses
perceraian. Bayangkan saja, dalam kondisi hamil pun, perempuan masa kini dengan
gagahnya menggugat cerai suaminya. Seperti yang dicontohkan para artis itu,
bayinyapun lahir tanpa sosok ayah. Kehilangan ayah sejak dalam kandungan.
Miriis.
Tentu saja, dimasa mendatang saat mereka dewasa, mereka
benar-benar tidak memiliki ayah. Tidak dibesarkan oleh ayah biologisnya. Tidak
mendapatkan kasih sayang dari sosok ayah. Jika sang ibu menikah lagi pun, ayah
tiri tak akan memperlakukannya bak anak kandung.
Bahkan, dijaman saat ini sebagian ayah tiri tak kalah kejam
disbanding ibu tiri. Apalagi terhadap anak tiri perempuan. Kerap dijadikan
pelampiasan syahwat, bahkan dijadikan budak seks. Jadi, system bobrok ini
memang telah melahirkan fatherless
dalam makna hakiki. Bukan saja fatherless
dari sisi ketiadaan sosok keteladanan ayah.
Lalu, Adakah Motherless??
Lantas, bagaimana dengan fenomena motherless? Tentu bukan dalam makna hakiki, karena seorang anak
pasti lahir dari seorang ibu. Tapi dalam makna hilangnya sosok dan peran
keibuan. Apakah ini terjadi juga? Bukankah saat ini semakin banyak kaum ibu
yang tidak menjalankan perannya disebabkan sibuk berkarir?
Nah, inilah “hebatnya” kaum wanita. Tanpa bermaksud membela
para wanita pekerja, namun fakta mengatakan, sesibuk-sibuknya ibu pekerja,
tetap masih menyempatkan waktu untuk melayani dan mengurus anak-anaknya. Bahkan
melayani suaminya.
Pagi sebelum berangkat kerja msih membuatkan sarapan,
mengantar anak sekolah, pulang sore masih bias memandikan anak, malam menemani
mereka belajar, mengantar anak-anak menggosok gigi, mengolesi antinyamuk,
mendongengi sebelum tidur, sembari menanamkan nasihat-nasihat dan mengajarkan
doa-doa, dst. Beda dengan kaum bapak yang memang seolah begitu tegas
menyerahkan urusan seperti itu pada istrinya.
Namun tak dipungkiri, kondisi motherless juga terjadi dalam banyak keluarga. Jangankan dikalangan
ibu pekerja, di keluarga dengan ibu tidak bekerja sekalipun, motherless itu nyata. Ibu rumah tangga
tapi hanya sibuk dengan dirinya. Seperti nonton tv, main gadget, shopping, dll.
Ada didekat anak, tapi asik dengan
dunianya sendiri. Hanya melayani anak jika rewel.
Fenomena motherless juga
terjadi di keluarga TKW, para istri merantau ke luar bertahun-tahun. Anak
kadang dibesarkan ayahnya saja, atau diasuh kakek neneknya. Juga fenomena single parent, anak-anak hanya diasuh oleh
ayahnya setelah proses perceraian terjadi. Tentu fenomena motherless ini tak kalah bahayanya.
Krisis Keluarga
Walhasil. Masyarakat sejatinya telah mengalami krisis
keluarga parah: fatherless sekaligus motherless. Bukan anak yatim piatu. Ini
ibu ada, ayah ada, tapi seolah-olah tiada. Lantas kemanakah sang anak akan
berpegangan? Inilah fenomena miris yang harus segera diubah. Kembalikan fungsi
dan peran keluarga sebagai elemen paling dasar bagi pembentukan masyarakat yang
baik. Jika elemen kecil ini diremehkan, efeknya menghancurkan bangunan yang
lebih besar.
Namun, jangan lupa, keluarga-keluarga ini hidup dalam
naungan system kehidupan atau ideology yang menaunginya. Ideology inilah yang
berkontribusi besar dalam menbentuk pola keluarga, apakah akan menjadi keluarga
ideal atau tidak.
Sebab, kelanggengan keluarga dipengaruhi oleh system ekonomi
(yang mengatur akses nafkah suami), system social (mengatur relasi suami-istri-
anak), dll. System inilah yang bertanggung jawab menciptakan suasana kondusif
demi terwujudnya keluarga-keluarga ideal. Keluarga tanpa fatherless dan motherless.
Maka, jika system sekuler kapitalis saat ini hanya
menciptakan masyarakat yang fatherless dan
bahkan motherless, berarti saatnya
mengganti system ini dengan system yang ideal. Tentu saja jawabannya hanya
Islam.
0 Response to "FENOMENA FATHERLESS VS MOTHERLESS “PERAN PENTING ORANG TUA TERHADAP ANAK”"
Post a Comment